Seiring berlalunya waktu, masa jabatan seorang pemimpin dalam pemerintahan akan selalu berakhir. Ini berlaku tidak hanya untuk pejabat tinggi negara, bahkan seorang presiden pun harus siap menerima kenyataan bahwa suatu saat nanti akan digantikan oleh calon pemimpin berikutnya. Akan tetapi, kita seringkali disaksikan bagaimana beberapa pejabat negara, termasuk Presiden saat ini, tampak sangat sibuk dalam mencari atau mendukung calon pemimpin baru yang mereka inginkan, sejalan dengan pencapaian mereka selama berada di dalam jabatan pemerintahan.
Namun, seringkali tindakan ini tidak selalu transparan dan jujur. Spekulasi pun muncul, bahwa di balik semangat mereka terdapat agenda tersembunyi, seperti upaya untuk menutupi tindak kejahatan, mengendalikan pemilihan calon pejabat selanjutnya, atau bahkan melibatkan keluarga dalam politik untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai fenomena ini yang terjadi pada pejabat negara dan presiden yang sibuk melakukan "cawe-cawe" atau mempromosikan calon pemimpin berikutnya.
1. Menutupi Kejahatan
Tidak jarang pejabat negara berusaha mencari pemimpin berikutnya untuk mengamankan diri dari penyelidikan terhadap tindak kejahatan atau tindakan korupsi yang telah mereka lakukan selama masa jabatan mereka. Dengan memastikan pemimpin baru adalah 'orang mereka', mereka berharap dapat menghindari pengungkapan lebih lanjut atas perbuatan mereka.
2. Mengatur Pemilihan Pemimpin Selanjutnya
Ada kasus di mana pejabat yang masih berkuasa berusaha untuk memanipulasi pemilihan pemimpin selanjutnya agar mendukung calon yang akan menjadi "boneka" mereka. Dengan cara ini, mereka dapat terus memengaruhi kebijakan dan keputusan politik tanpa harus secara resmi memegang jabatan.
3. Mempertahankan Kekuasaan
Beberapa pejabat negara takut kehilangan kekuasaan setelah masa jabatan mereka berakhir. Dengan mencari pemimpin selanjutnya yang dapat mereka kendalikan, mereka berharap dapat mempertahankan pengaruh mereka dalam pemerintahan.
4. Melindungi Bisnis dan Keuntungan Pribadi
Pejabat yang memiliki bisnis atau koneksi dengan kelompok ekonomi tertentu mungkin ingin memastikan bahwa pemimpin selanjutnya tidak akan mengancam bisnis mereka atau mengekspos praktik korupsi. Oleh karena itu, presiden dan para pejabat mencari calon yang akan melindungi kepentingan mereka.
5. Keluarga dalam Politik
Terakhir, ada situasi di mana pejabat mencoba membawa anggota keluarganya ke dalam dunia politik dengan mendukung mereka menjadi pemimpin selanjutnya. Hal ini dapat memastikan bahwa kekuasaan dan pengaruh keluarga tersebut tetap terjaga.
Contoh yang paling aktual adalah keterlibatan anak dan menantu Presiden Jokowi dalam politik, seperti dalam peran sebagai Walikota. Namun, hal ini juga memunculkan pertanyaan tentang apakah Presiden Jokowi memiliki kepentingan pribadi yang lebih besar dalam memengaruhi pemilihan presiden berikutnya.
Meskipun mencari pemimpin berikutnya adalah bagian sah dalam sistem politik di Indonesia, kita harus senantiasa berhati-hati terhadap praktik-praktik yang mungkin tersembunyi di baliknya. Transparansi, integritas, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil dan pemimpin yang dipilih benar-benar melayani kepentingan rakyat, bukan golongan. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mungkinnya agenda tersembunyi di balik tindakan ini, kita dapat menjadi lebih kritis dalam menilai tindakan pejabat negara dalam mencari pemimpin berikutnya.
Tindakan Presiden Jokowi dalam melakukan "cawe-cawe" saat ini tentu mengundang pertanyaan tentang maksud dan tujuannya yang mungkin lebih terkait dengan kepentingan pribadi daripada kepentingan demokrasi dan rakyat Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa Presiden Jokowi ingin memastikan proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru tetap dikerjakan oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) China, dengan menyewakan sebidang tanah seluas 34.000 hektar kepada warga negara China selama 190 tahun, sementara rakyat Indonesia harus membayar sewa kepada negara China untuk pengerjaan proyek IKN. Selain itu, syarat tambahan yang mewajibkan warga Indonesia untuk mempelajari bahasa Mandarin di sekolah menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut.
Dengan alokasi tanah yang sangat besar, proyek ini dapat menampung hingga 100 juta warga negara China. Kedepannya, ada kekhawatiran bahwa suku Dayak dan kelompok masyarakat pribumi lainnya dapat terkucilkan, mirip dengan apa yang terjadi pada suku Aborigin di Australia. Jika masa sewa selama 190 tahun terpenuhi, maka status kewarganegaraan Indonesia bisa menjadi pertanyaan serius. Secara keseluruhan, situasi ini menimbulkan keraguan terkait nasionalisme Presiden Jokowi dan dampaknya bagi Indonesia.